Rencana Aksi Nasional Lindungi HAM di Ranah Bisnis
Ilustrasi Buruh Pekerja di Pabrik (Source: Fresh Stocks, Shutterstock)
Sektor korporasi memiliki peran penting dalam meningkatkan perekonomian sebuah negara. Hal ini juga berlaku di Indonesia, dimana kegiatan korporasi berpengaruh signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Meski memiliki andil besar, sektor korporasi juga memiliki sisi lain yang berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) baik dalam skala internal bagi para pekerja, maupun ke lingkup masyarakat luas maupun individu. Berbagai kegiatan bisnis dapat berpotensi menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, produksi barang dan layanan jasa yang merugikan konsumen, penggusuran, hingga konflik sumber daya alam.
Menurut dokumen Prinsip-Prinsip Panduan PBB mengenai Bisnis dan HAM atau United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), ada tiga pilar penting terkait pelindungan HAM dan korporasi. Pilar pertama, negara wajib melindungi HAM melalui pengambilan langkah-langkah kebijakan, legislasi, regulasi maupun ajudikasi. Pilar kedua, korporasi bertanggung jawab untuk menghormati HAM, mengembangkan uji tuntas HAM dan mengatasi dampak buruk HAM yang diakibatkan oleh operasional korporasi. Pilar ketiga, menitikberatkan pada perluasan akses korban dalam mendapatkan pemulihan yang efektif, baik mekanisme pemulihan berbasis yudisial maupun non-yudisial.
Sejalan dengan hal ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meluncurkan Rencana Aksi Nasional tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (RAN Bisnis dan HAM). Dokumen tersebut merupakan pengembangan strategi kebijakan dalam rangka melindungi HAM dari dampak negatif operasional bisnis dengan merujuk pada Prinsip-Prinsip Panduan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Bisnis dan HAM.
Laporan Komnas HAM tahun 2020 menyatakan bahwa dari 2841 aduan yang masuk, pihak yang paling banyak diadukan adalah kepolisian (758), korporasi (455), dan pemerintah daerah (276). Angka ini mengalami penurunan setiap tahunnya. Seperti di tahun 2021, dimana terdapat 428 laporan terhadap korporasi dan di tahun 2022 dimana tercatat hanya 373 laporan.
Menurunnya tingkat pelaporan pelanggaran HAM di sektor korporasi tentunya dapat disebabkan oleh berbagai aspek. Salah satunya adalah peran negara melalui Komnas HAM dalam membuat RAN Bisnis dan HAM.
RAN Bisnis dan HAM berisi tentang standar dan pedoman nasional untuk korporasi dalam menjalankan kegiatan bisnisnya agar dapat selaras dengan hak asasi manusia di lingkungannya. Terdapat empat tujuan utama dari RAN Bisnis dan HAM, yaitu:
Menyamakan persepsi semua pemangku kepentingan tentang penerapan Prinsip-prinsip Panduan Bisnis dan HAM
Adanya standar dan pedoman nasional yang dapat dijadikan panduan serta memberikan arahan mengenai bagaimana sebaiknya korporasi melakukan aktivitasnya tanpa melanggar HAM
Memberikan arahan kepada Pemerintah mengenai kerangka kebijakan yang perlu dibentuk dan disesuaikan dengan tanggung jawab Korporasi terhadap penghormatan dan pemulihan HAM
Fokus pada pencegahan dan mengurangi serta memperbaiki dampak negatif (remedy) bagi HAM yang dilakukan oleh Korporasi.
Sedangkan terkait tanggung jawab korporasi secara hukum terhadap upaya penghormatan HAM, dokumen RAN Bisnis dan HAM memetakan 3 (tiga) ruang lingkup, yakni:
Produk peraturan perundang-undangan yang mengatur tanggung jawab korporasi dalam konteks pelindungan terhadap pemangku hak yang berisiko terdampak di tempat kerja, di antaranya adalah UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri; dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batubara
Produk peraturan perundang-undangan yang mengatur tanggung jawab korporasi dalam konteks pelindungan terhadap pemangku hak yang berisiko. Terdapat dua kategori di dalamnya yakni:
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai HAM, sebagai berikut; UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis;
Peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral terkait dengan perlindungan terhadap komunitas, sebagai berikut; UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi; UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan; dan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan;
Peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap lingkungan hidup maupun pengaturan sektoral yang mengatur dampak suatu kegiatan terhadap lingkungan sebagai berikut: UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian; UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi; UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan; UU No. 37 Tahun 2014 tentang konservasi Tanah dan Air; UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Dengan adanya RAN Bisnis dan HAM ini, diharapkan akan memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM dalam sektor korporasi. Sehingga dapat mewujudkan aktivitas bisnis yang bertanggung jawab dan bermartabat bagi seluruh warga yang berkutat di dalamnya.